13 November 2008

Undang-undang Pilpres di Gugat Parpol..

Untuk Kepetingan rakyat atau kepentingan PARPOL...??

Kau yang membuat, kau yang menggugat, itulah ungkapan yang pas untuk para legislator kita yang telah membahas dan mensyahkan undang-undang tentang Pilpres

Setelah mengalami perdebatan yang cukup menguras waktu dan biaya akhirnya RUU PILPRES rampung dibahas oleh pansus RUU pilpres DPR, dan dapat disahkan pada rapat paripurna DPR pada 29 Oktober 2008 yang lalu. Ada dua poin yang menjadi perdebatan serius dari antarfraksi di DPR, yaitu mengenai syarat persentase pengajuan capres dan mengenai syarat rangkap jabatan (capres terpilih tidak boleh menjadi pimpinan parpol ketika dia terpilih), selain itu juga masalah debat capres merupakan salah satu poin yang diperdebatkan di antara fraksi-fraksi di DPR. Konsistensi masing-masing fraksi DPR dalam berpendirian pun dapat kita lihat dan amati, mengapa demikian? karena banyaknya fraksi yang mengubah niat awalnya, mengenai persentase syarat pengajuan capres dan syarat rangkap jabatan tersebut misalnya, beberapa fraksi ada yang secara terang-terangan akan bertahan dengan posisi awalnya yaitu 15 persen suara, namun ketika akhir-akhir mereka pun beralih kepada angka 20 persen suara dengan alasan untuk mencari jalan tengah antara pihak yang menginginkan 15 persen suara dengan pihak yang menginginkan 25 persen suara keatas dalam persentase syarat pengajuan capres. Alhasil RUU Pilpres pun akhirnya dapat disepakati untuk menjadi undang-undang pada keputusan tingkat dua di rapat paripurna DPR yang dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2008 yang lalu, walaupun ada beberapa fraksi yang mengeluarkan nota keberatan terhadap pengesahan RUU pilpres tersebut, misalnya Fraksi PAN mengenai persentase syarat pengajuan capres dan rangkap jabatan, sedangkan FKB dan FPKS mengenai syarat rangkap jabatan, capres terpilih tidak boleh rangkap jabatan menjadi pimpinan parpol.>

Belum lagi hilang dari ingatan kita mengenai riwehnya prosesi RUU Pilpres tersebut untuk dapat disahkan, sekarang muncul keriwehan kembali terhadap RUU pilpres tersebut, betapa tidak, UU Pilpres yang belum genap satu bulan disahkan, hanya beberapa saat setelah disahkan wacana judicial review langsung mengemuka, beberapa parpol dan tokoh politik yang merasa UU tersebut telah melanggar konstitusi langsung mengeluarkan statement akan mengajukan judicial review terhadap UU Pilpres tersebut setelah pemerintah menetapkan nomor UU Pilpres tersebut agar dapat dibatalkan oleh MK dengan alasan UU Pilpres tersebut telah melanggar konstitusi. Saat ini 6 parpol telah bergabung dan membentuk tim 200 pengacara untuk melakukan judicial review tersebut, 6 partai tersebut di antaranya adalah Partai HANURA, Partai GERINDRA, Partai Matahari Bangsa, Partai Kebangkitan Nahdatul Umat, Partai Demokrasi Pembaharuan, dan Partai Indonesia Sejahtera. Adapun partai yang ikut berencana melakukan judicial review terhadap UU pilpres tersebutt secara sendirian adalah Partai Bulan Bintang.

Beberapa tokoh politik dan pengamat politikpun angkat bicara, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso misalnya. Calon presiden dari Partai Indonesia Sejahtera ini mengatakan bahwa UU Pilpres yang telah disahkan tersebut dengan persentase syarat pengajuan capres 20 persen suara kursi DPR pusat dan atau 25 persen perolehan suara nasional telah menghalang-halangi hak setiap warga negara untuk mencalonkan menjadi seorang presiden atau wakil presiden, ia juga berpendapat bahwa wacana penguasa militer yang sering dikemukakan pada masa orde baru saat ini tidak lagi pas untuk diwacanakan, karena menurutnya saat ini kepemimpinan sipil di partai-partai politik lebih tidak demokratis. Lain Sutiyoso, lain pula Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra. Dia berniat akan mengajukan judicial review terhadap UU Pilpres tersebut karena menurutnya UU tersebut telah menyalahi konstitusi. Para pengamatpun tidak ketinggalan untuk angkat bicara, Syamsudin Harris misalnya. Peneliti LIPI ini berpendapat bahwa dengan disahkannya UU Pilpres dengan persentase syarat pengajuan capres di angka 20 persen kursi dan atau 25 persen suara telah melanggar konstitusi yang ada di Indonesia, karena menurutnya di dalam konstitusi tidak ada mengenai pembatasan tersebut, yang ada menurutnya hanyalah pengajuan capres atau cawapres di dalam konstitusi kita dapat diajukan oleh partai/gabungan partai politik, oleh karenanya menurutnya peluang untuk diloloskannya judicial review terhadap UU Pilpres tersebut amatlah besar, dan tinggal tergantung kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang membidanginya. Memang jika kita cermati peluang untuk dapat diloloskannya judicial review tersebut oleh MK amatlah besar, pertama karena di dalam konstitusi kita tidak terdapat pembatasan tersebut seperti yang diungkapkan oleh pengamat LIPI syamsudin haris tersebut, dan yang kedua adalah masyarakat saat ini semakin cerdas dalam menilai sikap dan prilaku para politisi kita, karena kebanyakan masyarakat saat ini memiliki persepsi UU Pilpres tersebut dibuat hanya untuk menggolkan kepentingan politik atau golongan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas Kunjungan Anda, jangan lupa isi komentarnya ya...


IKLAN ANDA

Cari