24 Agustus 2008

Pemilu 2009 di TanjabBarat

SISTIM SUARA TERBANYAK: mungkinkah yang memperoleh suara terbanyak bisa dilantik? .

Pemilu 2009 yang akan datang, walaupun tidak banyak berbeda sistimnya dengan pemilu tahun 2009… banyak parpol yang mengabaikan sistim no urut dengan menerapkan sistim suara terbanyakArtinya berapa pun besarnya “nomor sepatu” (nomor) caleg tersebut, tapi apabila ia memperoleh suara terbanyak diantara caleg yang maka dia (menurut kesepakatan internal partainya) akan jadi. Nah hal inilah yang sedikit membuat masyarakat menjadi antusias untuk menjadi caleg atau bersedia menerima tawaran dari parpol yang ada untuk menjadi caleg.

Di Kabupaten Tanjab Barat, sejumlah partai besar yang relatif sudah mapan sudah menerapkan sistim suara terbanyak, diantaranya Partai Golkar, PAN, PKB, PIB, Menurut mereka sistim yang dipakai tersebut diharapkan mampu mendongkrak perolehan suara partai. Sementara PDIP dan PPP sampai saat ini masih menggunakan sistim nomor urut sesuai aturan yang ada. Namun berdasarkan pengalaman pada pemilu 2004 yang lalu sistim suara terbanyak sudah pernah diterapkan oleh PAN Kab Tanjab Barat dalam sistim pencalegan nya, namun kenyataannya penentuan caleg yang jadi masih berdasarkan urutan urut.

Sekarang sistim suara terbanyak juga sudah banyak dietrapkan oleh partai-partai yang walaupun sistim tersebut masih belum ada dalam aturan pemilu 2009 ini. Akankah partai-partai yang menggunakan sistim suara terbanyak tersbut akan mampu mendongkrak suara partainya dan akankah caleg yang memperoleh suara terbanyak nantinya benar-benar dapat diakui sebagai pemenang dan menjadi anggota DPR…? atau apakah ini hanya akal-akalan dari pimpinan partai (yang berada dinomor urut 1) untuk menarik minat masayarakat untuk ikut dalam pen-caleg-an dan kemudian setelah itu ia dihianati….?

Menurut Jimly, (yang dikutip dari hukumonline.com) fenomena sejumlah parpol yang menggunakan sauara terbanyak untuk menentukan caleg terpilih atau sistem proporsional terbuka murni, akan menjadi objek perselisihan yang masuk ke ranah MK. UU" secara eksplisit menyatakan yaitu perselisihan hasil suara yang mempengaruhi calon" ujarnya . Misalnya contoh jimly caleg a yang di menangkan, padahal caleg B merasa dia yang seharusnya dimenangkan. "ini kan jadi rumit, "tambahnya. Padahal UU pemilu legislatif hanya mendasarkan pada nomor urut caleg atau sistem proposional dengan nomor urut. Parpol yang mendasarkan pada suara terbanyak menyadari betul bahwa mereka telah ‘menyimpangi’ UU. Parpol yang telah menggunakan sistem suara terbanyak telah menyiasatinya dengan membuat perjanjian dengan caleg-calegnya. Misalnya dengan membuat perjanjian dengan semua caleg dihadapan notaris dalam menggunakan sistem tersebut, agar dengan perjanjian tersebut diharapkan tak ada caleg yang protes di kemudian hari.

Jimly menilai upaya membuat perjanjian ini belum tentu efektif secara hukum. Ia mengatakan apabila terjadi persoalan hukum, maka ada dua produk hukum yang bertentangan, yaitu UU Pemilu Legislatif dengan perjanjian perdata yang bersifat internal. “Pengadilan harus pegang mana? Pegang UU atau perjanjian,” telisiknya.

Namun, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu sudah memiliki pilihan sendiri. “Seharusnya yang dipegang adalah UU,” ujarnya. Artinya, bila persoalan ini dibawa oleh caleg yang merasa dirugikan ke MK, maka upaya ‘penyiasatan’ melalui perjanjian akan sia-sia.


1 komentar:

Terima Kasih atas Kunjungan Anda, jangan lupa isi komentarnya ya...


IKLAN ANDA

Cari