02 September 2008

Ramadhan Seharusnya Penuh Berkah


Ramadhan, Ada Apa Denganmu?
Ramadhan, masa penuh suka cita bagi kaum dhuafa dan anak-anak yatim, telah tiba. Teringat wejangan tetua, bahwa sedekah paling baik adalah yang diberikan selama bulan penuh kemuliaan ini.

Dan, selaras dengan "tangan kanan memberi tanpa sepengetahuan tangan kiri", adalah kepeduliaan tanpa pamrih yang sepantasnya melandasi aktivitas bersedekah setiap muslim, bahkan setiap orang, terlebih pada bulan tersebut. Juga, sepeninggal nabi dan rasul, kepada alim ulama, ummat mencari petuah-petuah yang meluruskan jalan.

Sayang beribu sayang, "apa yang saya percayai"-seperti yang saya paparkan di atas-berbenturan dengan "apa yang (akan) saya saksikan" selama Ramadhan pada tahun tahun dan tahun-tahun silam.

Pertama, undangan buka puasa dan pembagian bingkisan serta zakat fitrah bagi para dhuafa dan anak yatim memang sudah menjadi kebiasaan dari tahun ke tahun. Tapi, berbagai manifestasi kemurahan hati semacam itu niscaya tidak akan menjadi safeguard bagi dhuafa pasca Ramadhan. Kebahagiaan yang terbit akibat kemurahan hati orang-orang yang mampu, hanya sekejap. Sementara itu, kesusahan hidup dhuafa hakikinya berlangsung berkepanjangan.

'Tragis'nya, justru pada para penghuni dunia selebriti seolah firman Illahi terbuktikan. Mulai dari waktu sahur, tengah hari, saat berbuka puasa, malam hari, hingga waktu sahur berikutnya, adalah para artis yang kebanjiran-berat saya menulis kata ini-"berkah".

Jarak kebahagiaan material antara yang diterima oleh kaum dhuafa dengan para selebriti tak ubahnya seperti bumi dan langit. Jika untuk sebuah acara berdurasi satu jam saja seorang selebriti dapat menerima jutaan rupiah, sehingga lebih dari sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mendasar, seorang dhuafa harus bermandi peluh mencari sesuatu yang dapat memperpanjang hidupnya satu hari. Itu pun tanpa jaminan ia pasti mendapatkannya.

Saya tidak tengah menggugat profesi selebriti. Juga tidak sedang mempermasalahkan halal tidaknya rezeki yang mereka peroleh dari kesibukan mereka mengisi acara di layar kaca.

Yang membuat hati pedih adalah realita bahwa kian kayanya para selebriti selama Ramadhan merupakan buah dari kegandrungan khalayak luas akan dunia selebriti itu sendiri. Masyarakat telah menjadi 'orang tua asuh', dengan kecintaan para televisi sebagai 'pola asuh'nya dan para artis sebagai 'anak-anak asuh'nya'.

Gaya hidup itulah yang-ambil contoh ekstrim-membuka kesempatan bagi seorang selebriti, yang memiliki dua anak hasil kumpul kebo dengan selebriti lainnya yang berbeda iman, untuk tampil di televisi menceritakan pengalamannya melaksanakan ibadah puasa selama Ramadhan.

Entah, dari perspektif mana penyikapan terhadap si selebriti harus dilakukan. Haruskah dari empati, sehingga memandangnya sebagai seorang pendosa yang menjadikan tiga puluh hari bulan ini sebagai momen 'pertobatan'? Ataukah dengan pandangan judgmental, dengan menilai kisah si artis sebagai perwujudan betapa neraka dan surga telah saling tumpang tindih tak keruan?

Kedua, Ramadhan menjadi masa indah bagi pengusaha bingkisan. Tidak ada salahnya dengan aktivitas berdagang, adilakukan dengan jujur dan adil. Pertanyaannya, di seputar manakah bingkisan-bingkisan itu diantarkan?

Sebagian, bisa jadi masuk ke panti-panti yatim piatu. Ada pula yang menjadi hadiah bagi para pekerja yang sering terlupakan, seperti penjaga pintu perlintasan kereta api, petugas menara mercusuar, dan polisi berpangkat rendah yang sibuk mengatur para pengemudi kendaraan yang sebenarnya enggan diatur.

Tetapi, dugaan terkuat, lalu lintas utama bingkisan lebaran-terlebih yang berkemasan mewah dan berharga mahal-adalah dari kaum berharta yang satu ke kaum berharta yang lain. Urgensi parcel, jika dianalogikan sebagai sedekah, telah berpindah dari hasrat altruistis (berbagi kegembiraan dengan kaum papa) ke motivasi egoistis (simbol kepentingan terselubung si pemberi yang 'seyogianya' dipenuhi oleh si penerima parcel).

Signifikansi bingkisan pun, tak pelak, berubah. Bukan lagi ungkapan syukur atas limpahan rezeki dari ar Rahman ar Rahim, melainkan bentuk penghamburan uang yang sampai-sampai harus dilarang.

Lagi, bagaimana menanggapi fenomena ini? Julukan apakah yang pantas diberikan kepada si pemberi bingkisan? Si murah hati, atau si busuk hati? Juga bagi si atasan penerima bingkisan, apakah ia cerminan pemimpin yang dicintai bawahan sehingga dibanjiri hadiah, ataukah tidak lebih dari seorang individu yang cukup dungu dengan membiarkan dirinya dijadikan sasaran aksi para penjilat?

Ketiga, sekian banyak alim ulama menjadi langganan beraneka media untuk memberikan santapan rohani kepada para pemirsa. Alim ulama, selaku orang-orang yang seharusnya sibuk memperkaya diri dengan pengetahuan agama dan membangun watak takwa, begitu masuk ke dunia media tidak sedikit yang serta-merta berubah penampilan.

Latar panggung yang indah serta gaya berbusana yang modis dan berganti setiap hari, telah mendeviasi citra para ulama selaku kaum bersahaja. Akibatnya, bisa jadi akan muncul problem legitimasi bagi si ulama untuk bertutur tentang pentingnya hidup sederhana dan ikhlas seperti Rasulullah Muhammad, tatkala pakaian yang dikenakan si ulama nyatanya berbeda jauh dengan isi ceramahnya.

Jadwal padat kegiatan para ulama untuk mengisi forum pengajian di gedung-gedung besar dan kelompok-kelompok elit seperti telah memisahkan ulama dari habitat mereka semula, yakni wong cilik di mushala-mushala kampung maupun di tanah lapang yang gersang dan tanpa tempat duduk.

Kaum jelata ini tak menyimpan banyak uang, namun memendam rindu akan pencerahan dari sang ustad. Tetapi, jangankan berhasil mendatangkan si alim ulama, memasukkan nama mushala mereka ke daftar antrian saja sudah menjadi perjuangan yang beratnya luar biasa.

Jadi, apakah petuah-petuah indah yang disampaikan para pengkhutbah itu merupakan cerminan kepekaan mereka atas problem-problem aktual, ataukah sebatas produk kreativitas rasional yang dipacu oleh desakan kapitalisme?

Apakah kekaguman masyarakat adalah masih murni seperti dulu, yakni simpati terhadap kesantunan pekerti si ustad? Ataukah, diam-diam terselip di batin, kekaguman itu sudah tercemari oleh rasa penasaran ingin melihat penampilan sang ustad hari ini yang pasti dikemas dengan hiasan yang lebih baik daripada hari kemarin?

Adalah rentetan pertanyaan atau, dengan kata lain, ketidak-kongruenan antara "apa yang saya percayai" dengan "apa yang saya saksikan" yang berujung pada-maaf-pesimisme bahwa Ramadhan tahun ini akan berakhir dengan jumlah pemenang yang lebih banyak daripada tahun-tahun silam.

Manusia, agaknya, tidak lagi melihat janji-janji agung Illaahi sebagai sesuatu yang istimewa untuk dinantikan. Wallaahu a'lam bishawab.

)* Reza Indragiri Amriel : Alumnus Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
dari http://www.pkpu.or.id/homes.php


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas Kunjungan Anda, jangan lupa isi komentarnya ya...


IKLAN ANDA

Cari