12 Desember 2008

Jawara Diplomat Indonesia Telah Tiada

 ali5ali2 ali1ali3jenazah ali ali4

Inna Lillahi Wainna Ilaihi Raaji'un...

Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya Ali Alatas, Seorang Diplomat Ulung, seorang Jawara diplomasi. Beliau merupakan salah satu diplomat handal Indonesia. Menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinet dan pernah dinominasikan menjadi Sekjen PBB oleh sejumlah negara Asia pada 1996, suatu bukti kehandalannya mewakili Indonesia di pelbagai meja perundingan dan jalur diplomatik. Ali Alatas, singa tua diplomat Indonesia terakhir menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2005-2008).

Ali Alatas yang lahir di Jakarta pada 4 November 1932 meninggal di usia 76 tahun, pada Kamis 11 Desember 2008 pagi di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura pada pukul 07.30 waktu Singapura, karena terkena serangan jantung. Jenazah diterbangkan dari Singapura dan tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta sekitar pukul 18.30 disambut oleh Menko Polhukam Widodo AS, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Rachmawati Soekarnoputri.

Kemudian disemayamkan di ke rumah duka di Jalan Benda Raya No 19, Cilandak, Jakarta Selatan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, yang sedang berada di Indonesia, melawat ke rumah duka. Dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta (12/12/2008).

KARIR

Selama dua dasawarsa lebih, Alex (nama panggilannya) memperlihatkan kelas tersendiri sebagai diplomat. Bahkan pada usia senjanya, ia masih mengemban tugas sebagai Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri (2001-2004). Kemudian pada masa pemerintahan Presiden SBY diangkat menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Urusan Luar Negeri 2005-2008. Maka tak salah bila ia dijuluki singa tua diplomat Indonesia.

Kisah hidupnya adalah diplomasi. Padahal pada masa kecil ia bercita-cita menjadi pengacara. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1956, kelahiran Jakarta 4 November 1932 ini, meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun. Ia mengawali tugas diplomatnya sebagai Sekretaris Kedua di Kedutaan Besar RI Bangkok (1956-1960), sesaat setelah ia menikah.

Pendidikan dasar kediplomatan diperoleh di Akademi Dinas Luar Negeri Jakarta (lulus 1954) dan di Fakultas Hukum UI (lulus 1956). Karier sebagai diplomat dijalaninya di berbagai perwakilan Indonesia, seperti Thailand, Amerika Serikat, dan PBB. Di awal kariernya ia juga membantu kegiatan jurnalistik dengan bekerja sebagai korektor.

Alex, begitu ia akrab dipanggil, menikah dengan Junisa dan pasangan ini dikaruniai tiga orang anak. Sebagai diplomat, ia dikenal akrab kepada semua kalangan, baik pejabat maupun petugas keamanan. Ia dilaporkan biasa mengobrol dengan petugas keamanan di PBB sewaktu merokok di luar gedung

Kariernya mulai berkembang sewaktu menjabat sebagai staf perwakilan Indonesia di PBB. Di sana ia aktif dalam menggalang suara G77, kelompok negara-negara berkembang di lembaga dunia tersebut.

Namanya mulai dikenal luas di fora internasional setelah ia aktif sebagai fasilitator perundingan perdamaian terhadap pihak-pihak yang bertikai di Kamboja, melalui pertemuan-pertemuan informal yng dikenal sebagai Jakarta Informal Meeting (JIM) hingga beberapa kali. Kegiatan diplomatis ini berakhir dengan sukses setelah ia menjadi Ketua Bersama dalam Konferensi Paris untuk Perdamaian Kamboja. Sumbangsih lain yang tidak terlalu diamati luas oleh pers tetapi signifikan adalah sebagai fasilitator dan penghubung dalam perundingan pemerintah Filipina dengan MNLF yang berakhir dengan perdamaian pada tahun 1996. Ali Alatas adalah orang terdepan dalam kepemimpinan Indonesia untuk Gerakan Non-Blok (NAM) pada tahun 1992-1995. Lewat usahanyalah Indonesia dapat ikut melobi G7, kelompok negara-negara industri terkemuka, untuk mau menghapus hutang beberapa negara berkembang dan bekerja sama dengan mempertimbangkan kesetaraan. Namun demikian, sebagai diplomat ia harus menghadapi ujian berat membela kebijakan yang ditempuh Indonesia terhadap permasalahan Timor Timur.

Pada 2003, Alatas diangkat sebagai utusan khusus Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia berkunjung selama tiga hari ke Myanmar pada 18 Agustus 2005 untuk mendesak pembebasan Aung San Suu Kyi. Beliau merupakan utusan khusus pertama yang diijinkan berkunjung ke negara itu sejak 2004. Sumbangsihnya yang terakhir bagi Asia Tenggara adalah dalam merumuskan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang berlaku mulai Januari 2009. Ia adalah anggota dari dewan perumus dokumen tersebut.

Penghargaan yang diterimanya, di antaranya, adalah Bintang Mahaputera Utama dan beberapa penghargaan dari luar negeri dan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Diponegoro pada tahun 1996.

Pusat Data Tokoh Indonesia mencatat bahwa sebelumnya, ia sempat berkecimpung dalam dunia jurnalistik sebagai korektor Harian Niewsgierf (1952-1952) dan redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954). Selepas bertugas di Kedubes RI Bangkok, ia kemudian menjabat Direktur Penerangan dan Hubungan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1965-1966). Lalu ditugaskan menjabat Konselor Kedutaan Besar RI di Washington (1966-1970). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Direktur Penerangan Kebudayaan (1970-1972), Sekretaris Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1972-1975) dan Staf Ali dan Kepala Sekretaris Pribadi Menteri Luar Negeri (1975-1976).

Kemudian, ia dipercaya mejalankan misi diplomat sebagai Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa (1976-1978). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Sekretaris Wakil Presiden (1978-1982). Lalu, kemampuan diplomasinya diuji lagi dengan mengemban tugas sebagai Wakil Tetap Indonesia di PBB, New York (1983-1987). Selepas itu, ia pun dipercaya menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinet masa pemeritahan Soeharto dan Habibie.

TAK SETUJU REFERENDUM DI TIMTIM

Saat menjabat Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia harus menghadapi berbagai kritikan mengenai masalah Timor Timur. Ia dengan cekatan bisa melayaninya dengan diplomatis. Apalagi saat pecah insiden Santa Cruz yang menewaskan puluhan orang pada 12 November 1991, ia cekatan untuk meredam kemarahan dunia. “Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu,” katanya.

Namun semua perjuangannya menjadi sia-sia seketika, manakala Presiden BJ Habibie memberikan refrendum dengan opsi merdeka atau otonomi, tanpa berkonsultasi dengannya. Suatu opsi yang amat naif. Ia tidak setuju atas solusi jajak pendapat yang dicetuskan Habibie itu. Sebab sebagai seorang diplomat, ia tetap berkeyakinan pada solusi diplomasi betapapun sulitnya sebuah situasi.
Maka tak heran, matanya berkaca-kaca beberapa saat setelah referendum. Timtim lepas dari pangkuan ibu pertiwi dan yang lebih memilukan, Timor Loro Sa’e itu rusuh dan hangus dilalap api. Karena keputusan presiden yang sulit dimengertinya, ia harus rela mengakhiri karir diplomatnya dengan air mata.

Namun semua orang tahu, bahwa kekalahan di Timor Timur itu bukan kesalahannya. Tetapi kesalahan ‘bosnya’ yang di luar batas kewenangannya. Presiden Habibie memang akhirnya menuai badai – pertanggungjawabannya ditolak MPR – akibat ‘kecerobohan’ itu. Maka, nama besar Alex sebagai diplomat yang prestisius tetap terukir tinta emas dalam lembar-lembar perjalanan karirnya.

Sehingga, ketika Alwi Shihab diangkat menjabat Menlu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Alatas dipercaya sebagai penasehat. Kemudian, setelah Gus Dur jatuh dan digantikan Megawati Sukarnoputri, Alex diangkat menjabat Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri.

Sebagai penasehat presiden ia antara lain telah menjalankan misi diplomat ke berbagai negara, termasuk ke Swedia, mengenai Hasan Tiro. Namun, aktivitasnya sebagai penasehat presiden tidak lagi sesibuk ketika ia menjabat Menlu. Sehingga, ia berkesempatan mengisi waktu dengan mewujudkan impiannya menjadi pengacara, sebagai salah satu penasihat hukum di Biro Pengacara Makarim & Taira's. Dan untuk mengisi waktu ia pun menikmati hidup dengan keluarga di rumah kediamannya di Kemang Timur, Jakarta Selatan dan Jalan Benda Raya No 19, Cilandak, Jakarta Selatan.

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Manusia Mati meninggal Jasa-jasanya. Selamat Jalan Pak Ali Alatas, Jasa-jasa mu akan kami kenang selalu...

dikutip dari berbagai sumber

4 komentar:

  1. saya atas nama pribadi turut berduka sedalam-dalamnya atas berpulangnya salah satu putra terbaik bangsa ini. Terima kasih bapak.

    Dinarni Efta Sutrisna

    BalasHapus
  2. Selamat Jalan pak ali

    BalasHapus
  3. Selamat Jalan Bapak,..
    Semoga Diterima Di sisi Nya.

    BalasHapus

Terima Kasih atas Kunjungan Anda, jangan lupa isi komentarnya ya...


IKLAN ANDA

Cari